Pada zaman yang serba modern dan canggih, banyak masyarakat yang lebih memilih untuk menerapkan gaya yang sesuai dengan mode kekinian. Meskipun begitu, masih banyak tempat yang memegang teguh nilai-nilai tradisional yang kental. Sebut saja adat istiadat Jogja yang kini masih sering ditemukan, baik itu di keraton ataupun pada masyarakatnya.
Upacara Labuhan yang Menjadi Ciri Adat Istiadat Jogja
Membicarakan adat istiadat Jogja memang tidak lengkap rasanya apabila tidak membahas mengenai upacara Labuhan. Upacara adat yang satu ini memang sudah lama dilakukan dan masih tetap dilaksanakan pada masa yang modern ini.
Dilihat dari sejarahnya, upacara Labuhan pada awalnya pertama kali dilaksanakan pada abad ke-13, zaman dimana Kerajaan Mataram Islam sedang berjaya. Upacara tersebut pun dilakukan di daerah Yogyakarta, dan masyarakat setempat mempercayai upacara ini akan mendatangkan banyak manfaat bagi kehidupan mereka.
Beberapa manfaat tersebut diantaranya adalah membawa kesejahteraan, ketentraman, dan mampu membina masyarakat agar senantiasa berada pada kondisi yang selamat dari marabahaya. Upacara ini juga diadakan pada empat tempat berbeda yang letaknya saling berjauhan.
Keempat tempat tersebut yaitu Puncak Gunung Lawu, Puncak Gunung Merapi, Pantai Parangtritis yang berada di sebelah selatan kota Yogyakarta, dan Dlepih yang berlokasi di Kabupaten Wonogiri. Semua tempat itu memiliki latar belakang sejarah masing-masing, karena itulah upacara Labuhan pun dilaksanakan dengan penuh khidmat.
Upacara yang kental akan nilai-nilai religiusnya ini harus dilaksanakan sesuai dengan titah Raja sebagai kepala yang menaungi kerajaan. Biasanya, upacara yang satu ini digunakan untuk memperingati peristiwa yang berada di daerah kerajaan seperti ulang tahun penobatan Sultan, dan lain-lain.
Hal yang menarik adalah salah satu dari proses upacara tersebut diadakan setiap delapan tahun sekali, sebagai bukti untuk memperingati hari penobatan Sultan. Karena itulah, tidak heran apabila para wisatawan menganggap bahwa upacara adat ini begitu menawan sebab suasana khusyuk dan khidmat yang mengiringi upacara ini akan membuat mereka merasakan nilai religius yang ada.
Grebeg Muludan yang Mewah
Selain Upacara Labuhan, ada pula upacara bernuansa Islam lainnya yang tidak kalah menarik. Upacara tersebut adalah Grebeg Muludan, yang mana diadakan sebagai upacara untuk memperingati hari ulang tahun Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal.
Setiap tahunnya, upacara yang satu ini dilaksanakan dengan begitu meriah sebab akan ada beberapa prajurit yang membawa gunungan besar di pundaknya dan mengarak gunungan tersebut sampai tujuan. Prajurit tersebut terdiri atas Wirabraja, Patangpuluh, Prawiratama, Ketanggung, Surakarsa, Prajurit Keraton, Dhaheng, Jagakarya, Nyutra, Mantrijero, dan terakhir Bugis.
Diadakan pada pagi hari selama kurang lebih dua jam, prajurit itu akan membawa gunungan dari Istana Kemandungan, lalu melewati daerah Pagelaran dan Sitihingil kemudian menuju ke Masjid Agung. Gunungan tersebut terdiri atas beberapa makanan, buah-buahan, sayur-sayuran, dan beras ketan yang sudah dimasak hingga matang.
Setibanya di Masjid Agung, gunungan tersebut akan didoakan secara bersama-sama oleh masyarakat sebagai isyarat bahwa mereka menganggap bahwa gunungan tersebut membawa berkah yang melimpah pada mereka. Setelah itu, bagian dari gunungan yang dianggap sakral akan segera ditanam di sawah sehingga ladang masyarakat bisa menjadi lebih subur.
Upacara Saparan yang Khas
Upacara Saparan juga termasuk ke dalam upacara adat istiadat Jogja yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Upacara ini juga seringkali disebut sebagai upacara Bekakak, atau penyembelihan boneka pengantin muda yang sebelumnya terbuat dari tepung ketan.
Karena diadakan pada bulan Sapar, maka upacara ini pun lebih dikenal sebagai Upacara Saparan. Latar belakang yang menyebabkan terbentuknya upacara ini terdengar cukup sedih. Sebab, upacara ini dipercaya lahir terkait insiden yang terjadi pada Ki Wirasuta, seorang Abdi Dalem Hamengkubuana I yang begitu dikasihi oleh Sultan.
Ki Wirasuta merupakan salah satu dari tiga bersaudara yakni Ki Wiradana dan Ki Wirajamba, yang mana ketiganya memiliki hubungan yang cukup erat dengan Keraton. Suatu ketika, Keraton mengalami proses pembangunan ulang untuk memperbaiki kualitas bangunannya.
BACA JUGA :
Tips dalam Memilih Agen Tour Jogja yang Tepat |
Mereka pun diutus oleh Sultan untuk tinggal di tempat lain selagi Keraton mengalami pembangunan. Namun, Ki Wirasuta menolak hal tersebut. Ki Wirasuta, yang memilih untuk tinggal di gua tiba-tiba terjebak di dalam suatu musibah sebab terjadi tanah longsor.
Jasadnya beserta keluarga tidak pernah ditemukan, sehingga masyarakat sekitar pun percaya bahwa arwahnya masih tetap berada di Gunung Gamping. Sri Sultan Hamengkubuwana I mengadakan upacara saparan ini dengan maksud untuk menghormati kesetiaan Ki Wirasuta selama hidupnya, sekaligus untuk menjaga agar masyarakat terbebas dari bencana.
Upacara adat istiadat Jogja memang sangat beragam, sebab daerah inilah satu-satunya yang masih memegang teguh nilai kerajaan di seluruh Indonesia. Dengan pelestarian adat tersebut, maka masyarakat muda pun bisa lebih menghargai apa saja yang ditinggalkan oleh leluhurnya.